Belajar dari Software
Software merupakan suatu teknologi yang tidak lagi asing. Terutama di kalangan mahasiswa yang notabene hidup dan menghidupinya, software telah menjadi suatu perangkat wajib yang telah hidup dalam denyut nadi kehidupan mahasiswa. Sebut saja software untuk keperluan tulis menulis. Ia yang hadir di jantung kegiatan belajar-mengajar, menjadi kegiatan belajar-mengajar itu sendiri.
Betapa tidak? Tidak akan ada tugas, tidak akan ada modul, tidak akan ada literatur, tidak akan ada absensi, dan seterusnya, tanpa kehadiran sebuah software. Ia yang merupakan keajaiban teknologi telah menggeser nilai-nilai kemanualan menjadi sebuah kepraktisan seperti yang lahir seiring pertumbuhan teknologi. Ya, ia memang ajaib, mampu mengubah ribetisme menjadi praktisisme. Namun, ia pun kerap mendatangkan masalah. Seperti yang beberapa tahun ke belakang terjadi di mana sebuah foto berita atau biasa disebut foto jurnalistik yang menekankan sisi faktualitas, berubah menjadi sebuah kebohongan publik. Sebuah foto berita yang seyogianya menampilkan realita sebuah konflik, dimanipulasi sedemikian rupa atau direkayasa menjadi sebuah ironi dunia jurnalisme Barat. Inilah sisi lain dari keajaiban karya manusia yang dinamakan software itu. Meski demikian, tidak sedikit nilai guna yang bisa kita peroleh dari perangkat ini. Kita bisa mengerjakan tugas kuliah dengan bantuannya, kita bisa bisa mengerjakan tugas akhir atau skripsi dengan bantuannya, kita bisa mencurahkan isi hati kita dengan bantuannya, kita bisa memperbaiki gambar kita dengan bantuannya, kita bisa mendesain buletin, majalah, tabloid, atau bahkan menulis surat cinta untuk kekasih dengan bantuannya. Kita bisa merasa kosmopolit, urban, atau sebagai warga dunia dengan bantuannya. Pragmatisme, praktisisme, dan beragam keunggulan lainnya inilah yang sanggup membuatnya menggeser mesin tik manual maupun mesin. Berjalan nyaris tanpa suara. Perlahan tapi pasti, ia semakin menghati di para pengguna. Dan kini ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan mahasiswa. Mengerjakan tugas kuliah dengan diiringi alunan musik, tentunya dibantu dengan software tertentu. Dulu yang saat manualitas merajalela, mesin tik manual plus walkman atau radio tape menjadi pilihan. Namun di saat teknologi semakin dikonvergensikan, beragam alat yang asalnya terpisah, berpadu dalam sebuah boks yang biasa kita sebut sebagai CPU. Keserbaribetan berpadu menjadi suatu ruang multimedia yang mungkin dulu di zaman kakek-buyut kita hanyalah mimpi di siang bolong. Namun permasalahan pun bertambah saat beratus buku (literatur) berpadu menjadi sebuah software yang bernama kamus elektronik. Ia yang tercipta dari tangan-tangan terampil, pemikiran-pemikiran brilian, beragam emosi, dan beragam prosedur tentang hak cipta yang menyatukannya menjadi suatu referensi yang layak dikutip, berpindah medium dari cetak ke elektronik. Meski dengan fungsi yang sama, meski dengan catatan halaman, penerbit, penulis, penyusun, dan segala tektek bengek yang biasa disebut bibliografi itu, bisakah ia menjadi sumber referensi yang dapat dijadikan sebagai pegangan atau pun pedoman dalam penulisan karya ilmiah? Hal inilah yang layaknya diteliti lebih lanjut. Mengingat perkembangan teknologi yang semakin cepat, perkembangan kebutuhan pengguna yang semakin meningkat. Sementara para peneliti dan para pakar belum menemukan kata sepakat bagaimana seharusnya memperlakukannya, sedangkan para penulis sendiri tidak sedikit yang diam-diam mengutip sumber-sumber dari buku elektronik (e-book) dengan tidak jujur mengutipnya, menjadikannya literatur tanpa menyebutkan sumbernya, bahkan mengklaimnya sebagai buah karyanya yang orsinil. Inilah yang perlu dirumuskan kembali. [mim] - Pengantar Launching Software Kumpulan Istilah Komunikasi [KIKE] versi 1.0, (11/11/2001] - Sekelumit Tentang Bukit Tulang: A Chapter of Malabar JourneyBukit Tulang atau puncak Tangkorak merupakan sebuah puncak punggungan di atas Dataran Malabar. Dinamakan bukit Tulang atau bukit Tangkorak karena di puncak ini ditemukan sesosok mayat manusia yang telah menjadi tulang belulang dengan pakaian yang telah compang-camping. Para pemburu babi hutan yang pertama kali menemukan tulang belulang manusia itu, mempercayai jika tulang belulang itu merupakan sisa-sisa dari mayat korban penembakan misterius (petrus) di era masa pemerintahan Orde Baru.
“Tukang moro bagong nu mendakan tulangna teh. Terus wawartos ka abah. Nya ku abah dipaluruh ka ditu. Enya weh. Sigana mah tulang garong anu ditembak basa jaman Petrus,” papar seorang pria paruh baya yang akrab disapa dengan panggilan Abah ini. Menurut pria yang merupakan sesepuh dari rombongan pemburu babi hutan ini pula, batas jalan antara bukit Tulang dengan ujung perkebunan Pasirbatu ditandai dengan cat merah yang dipasang para perambah hutan di batang-batang pepohonan. Masih menurutnya, cat merah ini pula yang menandai jalan menuju puncak Malabar II. Bukit Tulang sendiri berjarak dua punggungan dari puncak Malabar II, atau jika berjalan dalam keadaan normal bisa ditempuh dengan waktu tiga sampai empat jam perjalanan dari pertigaan jalan puncak Haruman – Irihiam menuju ke Dataran Malabar. Posisi bukit Tulang sendiri berada di ketinggian 1900 DPL. Puncak ini terletak di ujung Selatan Dataran Malabar. Puncak ini bisa ditemui jika pendaki tidak memasuki Dataran Malabar. Karena, puncak ini bisa ditemui jika pendaki mengambil rute jalan yang melingkar, mengitari Dataran Malabar. Secara sekilas, bukit Tulang ditandai dengan jalan landai menuju puncaknya dan menukik tajam saat menuju mata air yang terdapat di lipatan punggungan. Di sepanjang jalan menuju dan dari bukit tulang di kanan dan kirinya banyak ditumbuhi pohon-pohon arbei hutan. Di puncak ini pula, macan, babi hutan, ayam hutan dan primata masih bisa ditemui. Dari puncak bukit Tulang, pendaki bisa mengambil dua rute perjalanan. Yang pertama menuju puncak Malabar II (2000 DPL) dengan mengambil jalan ke kiri. Sementara yang kedua mengambil rute jalan kanan jika hendak turun melalui Kampung Pasirbatu (1528 DPL), Desa Pangauban, Kecamatan Pacet yang bisa ditempuh dengan empat jam perjalanan waktu normal. Rute menuju puncak Malabar sendiri bisa ditempuh dengan peralatan navigasi yang memadai. Hal ini karena jalanan yang harus ditempuh pendaki telah tertutup semak belukar, ranting dan pohon yang tumbang karena faktor usia atau sengaja ditebang para perambah hutan. Jika berada dalam kondisi cuaca yang bagus, para pendaki bisa dengan leluasa melihat puncak gunung Rakutak yang simetris dengan puncak bukit ini. Sayangnya, di ujung bukit Tulang ini, hutannya telah habis dibabat penduduk sekitar Pacet untuk dijadikan lahan perkebunan wortel, borkol, dan kopi. Tak heran jika pendaki melewati jalan ini akan dengan mudah mendengar suara gergaji mesin yang meraung-raung untuk menumbangkan pepohonan yang telah berusia ratusan tahun itu. Karena pembabatan hutan itu pula, babi hutan yang seharusnya diam di tempat yang merupakan habitatnya itu, kerap menyerang perkebunan petani. Dan diburu para petani yang juga berprofesi sebagai pemburu itu dengan menggunakan jala dari kawat dan anjing pemburu. Seperti yang terjadi pada Minggu (30/05/10) itu. (mim) |
"..a journey of a thousand miles must begin with a single step..." Author..aku hanyalah pria biasa yang mencoba bermakna di tengah belantara makna.... -ichme icank- Software kumpulan istilah komunikasi elektronik [kike] versi 2.0
|