..menelisik keremangan di antara deburan ombak. bau air laut begitu menyengat hingga bermil-mil jauhnya. kerlap-kerlip bintang berbaur dengan suar dan perahu yang enggan berlayar. para nelayan tak berani membuka sauh. karnival melepas jangkar. pun kapal barang dan tongkang. ombak tengah murka di samudera sana.

..sementara, tapak-tapak kecil ini terus saja melangkah di antara hantaman angin laut. lelah, langkah itu sesekali menyeka peluh yg tak hentinya menubuh. sesekali langkah itu mendongak, lalu kembali tertunduk. kecil, langkah ini terasa kecil di antara samudera ilahi. dalam hening, langkah itu terus saja bersyukur karena Tuhannya tak pernah beranjak dari nadinya. Ia masih di sana dan akan tetap di sana, selamanya.

..sesayup lantunan puja-puji membumbung di angkasa. semakin dekat kian membahana. dan langkah ini pun bergegas tergesa.. [batulicin, kalsel]
 
Sabtu 21/01/2012. Pukul 06.00 WITA. Suasana di sekeliling kapal nampak gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain aktivitas para anak buah kapal (abk) yang sibuk menurunkan muatan. Orang yang tidur di sebelah saya pun telah tiada. Tinggal setengah bungkus rokok beserta koreknya saja yang ditinggalkannya.

Matahari pun seolah enggan untuk menyapa pagi. Terlihat dari tak adanya sepercik pelita yang biasanya menyembul dari ujung cakrawala. Burung-burung belibis memekik dari pepohonan nipah. Pun werok sama bangkoe. Sesekali kawanan monyet itu turun ke sungai yang lebarnya sekitar 40 meter itu untuk sekedar melepas dahaga.

Mesin perahu yang digerakkan 4 buah mesin diesel itu tak pun tak dengar geramannya. Sepertinya ia lelah setelah semalaman memecah kesunyian laut di ujung Timur pulau banjar. Hulunya tertambat erat di dermaga sebuah perusahaan batubara. Dan penumpangnya telah jauh berkurang dari pertama berangkat.

07.00 WITA. Masih belum ada tanda-tanda matahari akan terbit dari arah mana. Sekeliling pun masih gulita. Dan kapal masih tertambat di tempat semula.

Dalam pikiran terus saja bergulir pertanyaan tentang dimana dan dari mana matahari akan muncul. Kurogoh gps dari dalam tas dan aku pun bergegas naik ke dek. "Gerimis, pantas saja matahari tak seperti biasanya," gumamku sembari memperhatikan angka-angka yang ada di dalam alat yang berukuran segenggam tanganku itu.

Jarum utaranya langsung menukik saat posisi sinyal di satelitnya terisi. "Hmmmh, perjalanan yang jauh, 180 km menuju Barat Laut dari kota terakhir yang kusinggahi rupanya," secercah kegembiraan mengemuka." Namun posisi saya sekarang dimana?," pertanyaan lain muncul manakala jawaban dari alat itu hanya berupa angka-angka tentang rentang pendek dan rentang jauh dari garis bujur timur dan garis lintang selatan.

Terus saja kuamati pergeseran angka-angka itu seraya bersila. Gerimis terus turun, dinginnya kian menusuk rusuk yang seserpihnya hilang entah kemana, malam tadi. Kunyalakan sebatang rokok kretek yang kurogoh dari saku jaket. Dan aku pun beranjak ke tepian dek untuk melihat posisi arus sungai.

Tak kelihatan. Tenangnya arus sungai di bawah kakiku setenang suasana di sekelilingku. Ku perhatikan para abk telah jenuh menunggu orang-orang suruhan dari perusahaan batubara yang tak juga menampakkan batang hidungnya. Mereka pun berteriak-teriak pada nahkoda yang sedari tadi diam dalam ruangannya, di depan posisiku yang tengah berjongkok.

Rindu kafein. Tak ada tukang kopi di dalam kapal ini, hanya tadi malam saja ada kulihat orang berjualan, itu pun hanya telur puyuh. Saat suasana dingin seperti ini, selalu saja kopi hitam pekat yang menyeruak dalam benak. Apalagi dinginnya pagi ini tak pula sanggup ditahan jaket yang berbahan polar. Bertambah pulalah kerinduan pada teman yang selalu setia menemani perjalananku. Dan dia sekarang tak bisa hadir di sini, di tanah borneo ini. [kotabaru,
 
Evakuasi Cigeureuh Part I

Gemuruh suara air bersahutan dengan gemeletuk bebatuan. Rintik air menyelinap dari sela dedaun. Sesekali terdengar kicau burung malam. Kabut tipis perlahan menusuk dari ujung-ujung kaki.

Di bawah bivak, terdengar beberapa orang yang masih memperbincangkan tentang nasib sepuluh orang yang diduga terjebak banjir dan longsor. Mengelilingi api unggun yang tak juga membesar, skenario-skenario jalur pendakian dan evakuasi sepertinya masih begitu aktual untuk dibicarakan. Termasuk, kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dihadapi.

Segulung Hawserlaid, kernmantel statis, beberapa ransel perbekalan telah disiapkan. Pulley, descendeur, screw, webbing, sling, dan harness mulai dilekatkan. Kemungkinan-kemungkinan evakuasi, masih tergantung pada derasnya air.

Pembicaraan menghangat saat menginjak kejadian tadi sore, saat tim evakuasi pertama terjebak longsoran. Mang Iso, salah seorang yang ikut dalam rombongan, sempat terseret longsoran itu. Beruntung, dia belum beranjak dari tempatnya berdiri. Karenanya, ia hanya tertimbun tanah, sementara satu meter di depannya, batu sebesar tubuh kerbau, bergeser hingga menutupi jalan setapak menuju ke Muara.

Di depan Mang Iso memang ada Dede. Ia yang telah berjalan beberapa meter dari mang Iso, juga luput dari longsoran itu. Karena mendengar suara tanah bergeser, Dede sempat berlari. Namun saat ia tak menemukan mang Iso, kembali ke tempat itu untuk mencari keberadaan mang Iso, dengan Tanu, temannya.

Sempat memanggil-manggil nama mang Iso, Dede dan Tanu memutuskan untuk menggali tanah di samping batu besar itu. Tak berapa lama, keduanya akhirnya menemukan mang Iso masih bernafas. Keduanya kemudian membawa mang Iso ke Muara.

"Srek, srek, srek...." ujung golok yang dipegang kang Oniel terus saja menyayati ranting basah. Raut demi raut dikumpulkan untuk menghangati basecamp di Muara yang kian dingin.

Tampak, belasan wajah berharap kehidupan masih melindungi kesepuluh orang yang terjebak. Meski tak tahu posisi mereka ada dimana, namun wajah-wajah anak-anak Perhimpunan Gunung Puntang Indonesia (PGPI) dan anggota organisasi pecintaalam SMAN 1 Baleendah Arupadhatu, menyiratkan keoptimisan harapan. Ya, karena harapan itu lah mereka berkumpul di Muara pada Minggu malam (14/2) itu.

Gogon, Mektung, Dean Macan, Dang Jon, sesekali berbicang untuk kemudian tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Dideskripsikan, malam itu merupakan malam yang mencekam bagi mereka. Betapa tidak? Dalam kurun waktu 19 tahun perjalanan Arupadhatu, keterjebakan dalam longsor dan banjir itu merupakan kejadian pertama yang terjadi. Meski telah mendeklarasikan diri sebagai pendaki, namun faktor bencana alam menjadi cerita lain yang tak pernah dihadapi. Dan sekarang dialami.

Peralatan minim, pun perbekalan. Setidaknya niat untuk menyelamatkan hanya sampai Muara saja, karena kerja tak kan melepaskan belenggu keharusan. Karenanya, do'a ditambatkan pada takdir dan kemampuan untuk menyelamatkan diri. Karenanya, shubuh telah menanti untuk kembali, tenggelam dalam kesibukan urusan materi.
 
..paku-paku baja melesak ke dalam tanah. suara gada raksasa menggema ke segenap penjuru kota. dan rawa-rawa pun berganti rupa menjadi bangunan megah yg kokoh mencengkram tanah.

..17.20 wita. matahari mulai meredup. tak terasa lagi garangnya sengatan saat ia menuju ke peraduan.

..lalu lintas kesibukan kian memenat. kendaraan-kendaraan mewah melesat di jalan protokol yg setengahnya dipakai parkir, pedagang kaki lima ataupun pangkalan ojek. tak sedikitpun ruang tersisa bagi pejalan kaki. meski, luasan trotoar yg terbentang di sepanjang kota ini cukup untuk memuat tiga banjar orang sekaligus.

..terlebih bagi penyebrang jalan. tak satupun terlihat adanya jembatan penyebrangan di kota sejuta sungai ini. saya sampai berpendapat jika orang-orang di sini sebagian besar tak bisa menyebrang jalan. mungkin karena terlalu malas, mungkin juga terlalu dimanjakan alam, atau faktor kebudayaan yg tidak mengakomodir pejalan kaki.

..seorang kenalan berpendapat, itu semua terjadi karena faktor gaya hidup yg terlalu kota dibanding ibukota. dia berargumen, leluhurnya merupakan pejalan kaki yg tangguh. hidup diperbukitan yg lebat, kendaraan merupakan hal yg mewah. namun rupa zaman telah merasuk lebih dalam ketimbang nilai warisan leluhur. dan inilah sekarang, dua ratus meter adalah jarak yg jauh yg harus ditempuh dg taksi (sebutan untuk angkutan kota). atau, bisa juga menaiki ojek yg berbanderol lima ribu rupiah untuk jarak dua ratus meter ini.

..mungkin mahalnya harga jasa ojek ini lebih diakibatkan karena fluktuatif dan tentatifnya harga minyak (sebutan untuk bbm). normalnya harga bensin memang empat ribu lima ratus rupiah. namun harga itu harus dibayar dg antrian yg minimal mencapai lima ratus meter. itu pun jika beruntung karena bensinnya masih ada. jika tidak, bensin eceran di depan spbu menjadi pilihan logis yg biasa dipilih. meski, tak jarang harganya mencapai 15 ribu rupiah per liternya. tak heran jika kendaraan semewah apa pun berhenti di depan kios eceran untuk mengisi tanki bensinnya. dan kian tak heran pula jika bayar angkutan umum di kota ini membuat kita yg biasa tinggal di jawa, mengurut dada.

..betapa tidak? uang seratus ribu saja ibarat tak berarti saat dipakai untuk jalan-jalan berkeliling kota. amannya, "tanya dulu harganya, lalu tawar sebisanya," cerita seorang teman. dan itu memang berguna, ditambah dg bauran bahasa lokal yg dipelajari diperjalanan dg terbata, harga menjadi kendala yg bisa diminimalisir.

..berjalan kaki ibarat barang mewah di sini. ia hanya kentara jika hari minggu datang menyapa. namun itu pun hanya berlaku di tempat-tempat tertentu saja. selebihnya, masih seperti hari biasa dimana pejalan kaki menjadi tontonan gratis disela-sela kegiatan keseharian.

..berbeda jika kita menyempatkan diri menyambangi pedalaman, terutama kampung dayak. berjalan menjadi aktivitas keseharian menuju ladang dan perkebunan. di sini, pejalan kaki menemukan habitatnya di lingkungan satu spesies dan tak dipandang sebagai "the other."

"walking is not a crime isn't?," gerutu boot renta yg sebagian jahitannya telah termakan usia. ia selalu saja begitu, asik berjibaku dg tanah dan batu. menggerutu saat tapak-tapaknya menyentuh aspal goreng, sebutan orang pedalaman papua untuk hotmix. berbeda jika ia ditunjukkan jalan menuju dusun yg bersebrangan dg dusun yg tengah dijejaki. saat yg ditanya berkata "ikuti saja pohon listrik (sebutan untuk tiang listrik, yg sebagian besar kabel listriknya memang ditambatkan pd pepohonan)..," ia akan dg riang gembira berderap. meski jalanan yg ditempuhnya merupakan tanah merah di daerah perbukitan, dan itu biasanya menghabiskan seperempat hari untuk melaluinya.

..sepertinya boot ini terlalu konservatif untuk menerima perubahan. mungkin karena usianya yg telah genap dua windu. lahir di zaman keemasan sepatu jungle, dimana rambut gondrong dan syal terikat di kepala menjadi teman dari flanel dan celana lapangan, boot ini menjadi pembeda di zamannya. namun sekarang, boot yg saat dibeli hanya seharga lima puluh enam ribu rupiah ini sudah saatnya di museumkan dan menjadi warisan sejarah masa lalu. bersama celana lapangan yg tak lagi berupa, bersama kenangan ransel yg telah hilang kemana, bersama sepantat rambut yg tinggal kuncirnya. kenangan ini segeranya dicenotaphkan dalam aquarium ingatan.

..cukuplah boot ini yg merasakan cibiran. biarkan boot ini saja yg melihat pandangan-pandangan yg memarjinalkan. namun bila boot ini bisa bicara, belantara jawa dan borneo adalah sepasang kekasih yg berdialektika. namun, biarkanlah ia menjadi saksi bisu bagi asam manisnya aspal goreng dan pahit getirnya pohon listrik. sehingga, tak ada lagi perjalanan yg mampu menyakitinya. dan ia pun terbaring dalam kuburan kenangan yg bukan sebagai pecintaalam, tapi pejalan kaki yg menghayati arti kontemplasi ragawi di jagat dan rohani.

..malam kian pekat. tak terasa, banjaran lampu jalan kiat mengkilat. sayang, sedari tadi hanya tertegun menyaksikan perubahan yg terjadi di sini. [Banjarmasin, 13 February 2012]