Waktu merangkak pelan. Pembicaraan masih belum bergeser dari obrolan tentang tim pertama yang tadi sore mulai men-Search and Rescue (SAR) kesepuluh orang pendaki yang belum juga beranjak turun. Tadi sore, tim rescue ini mencoba mengidentifikasi para korban melalui saura-suara yang mungkin diteriakan. Namun, hingga pembicaraan ini digulirkan, belum ada kejelasan tentang posisi mereka.
"Nih mang, hadiah buat mang dari saya," ujar Ozy Jebrag (42), salah seorang sesepuh PGPI seraya mengeluarkan sebotol ketan hitam dari tasnya. Ia pun kemudian menyerahkannya pada mang Iso. Yang diberi senyum-senyum saja seraya membuka botol minuman itu dengan giginya.

Seteguk demi seteguk isi dalam botol berpindah ke dalam perut mang Iso yang duduk di pojok bivak. Ia kembali terkekeh setelah dari tadi hanya mendengar pembicaraan yang digulirkan. Tampak, ia mulai menyingsingkan kain sarungnya. Sepertinya dia mulai diserang kantuk.

Oniel dengan Ozy terlihat membuat satu lagi bivak. Mungkin, karena orang yang ada dalam bivak itu yang berjejal. Setelah selesai, kerumunan orang-orang mulai menjauhi api unggun. Sepertinya memang telah lelah setelah melewati jalanan setapak yang tak lagi bersahabat. Lumpur dan kontur tebing di pinggir jalan tak lagi bersahabat dengan kenangan dalam kepala.

Sejak dari gerbang tadi, air sungai terlihat tak lagi mampu ditahan di jalurnya. Karenanya, ia meluap dan menggenangi jalan masuk sebelum jembatan. Sementara, air di sungai terdengar begitu bergemuruh, tanda ia tengah bergelora untuk menyuarakan kemurkaannya pada manusia. Meski, wujudnya tertutupi kegelapan.

Tak ada bayangan saat motor mulai merangkaki jalanan menuju warung bu Adang. Basah, licin dan berair, percikan-percikan air tersenyum ceria saat sorot lampu motor menyapa mereka. Tempat ini terasa asing dan mencekam. Tak seorang pun yang berada di tempat ini. Sepertinya memang tak ada kehidupan di sini selain bangkai-bangkai gedung Belanda yang puluhan tahun lalu telah diruntuhkan tentara Jepang.

Sesampainya di warung bu Adang, tak ada satu pun titik-titik cahaya. Yang ada hanyalah bisu, bisu dan bisu menoreh gelap. Sementara gumaman motor terus bersuara, bunyi derap langkah membahana. Dekat, kian mendekat. Tampak seraut wajah yang tak asing mendekat. Rupanya pak Adang.

Kami pun tenggelam dalam percakapan. Sementara dia memaparkan tentang tim kedua yang akan segera berangkat, alih-alih menjelaskan tentang kondisi di atas, pak Adang malah meminta maaf karena tak bisa ikut dalam rombongan.
Setelah ritual maaf memaafkan selesai, Mektung yang telah tiba di lokasi, langsung berjalan menuju warung di sebelah jembatan gantung itu. Di sana, sekitar 10 orang tengah berkerumun untuk menyuplai perbekalan tim pertama. Ritual salaman dilakukan sebelum menginjak pada sesi perbincangan.

Setelah sekitar setengah jam memaparkan kondisi di atas, Ozy meminta anak-anak Aru untuk menjadi tim ketiga. Namun yang dipinta malah memutuskan untuk naik untuk kembali pulang esok shubuhnya. Alasannya, lagi-lagi kerja. Ozy pun mengamini dan langsung memimpin do'a bagi tujuh orang di tim kedua itu. Dan perjalanan pun di mulai...



Leave a Reply.