Evakuasi Cigeureuh Part I

Gemuruh suara air bersahutan dengan gemeletuk bebatuan. Rintik air menyelinap dari sela dedaun. Sesekali terdengar kicau burung malam. Kabut tipis perlahan menusuk dari ujung-ujung kaki.

Di bawah bivak, terdengar beberapa orang yang masih memperbincangkan tentang nasib sepuluh orang yang diduga terjebak banjir dan longsor. Mengelilingi api unggun yang tak juga membesar, skenario-skenario jalur pendakian dan evakuasi sepertinya masih begitu aktual untuk dibicarakan. Termasuk, kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dihadapi.

Segulung Hawserlaid, kernmantel statis, beberapa ransel perbekalan telah disiapkan. Pulley, descendeur, screw, webbing, sling, dan harness mulai dilekatkan. Kemungkinan-kemungkinan evakuasi, masih tergantung pada derasnya air.

Pembicaraan menghangat saat menginjak kejadian tadi sore, saat tim evakuasi pertama terjebak longsoran. Mang Iso, salah seorang yang ikut dalam rombongan, sempat terseret longsoran itu. Beruntung, dia belum beranjak dari tempatnya berdiri. Karenanya, ia hanya tertimbun tanah, sementara satu meter di depannya, batu sebesar tubuh kerbau, bergeser hingga menutupi jalan setapak menuju ke Muara.

Di depan Mang Iso memang ada Dede. Ia yang telah berjalan beberapa meter dari mang Iso, juga luput dari longsoran itu. Karena mendengar suara tanah bergeser, Dede sempat berlari. Namun saat ia tak menemukan mang Iso, kembali ke tempat itu untuk mencari keberadaan mang Iso, dengan Tanu, temannya.

Sempat memanggil-manggil nama mang Iso, Dede dan Tanu memutuskan untuk menggali tanah di samping batu besar itu. Tak berapa lama, keduanya akhirnya menemukan mang Iso masih bernafas. Keduanya kemudian membawa mang Iso ke Muara.

"Srek, srek, srek...." ujung golok yang dipegang kang Oniel terus saja menyayati ranting basah. Raut demi raut dikumpulkan untuk menghangati basecamp di Muara yang kian dingin.

Tampak, belasan wajah berharap kehidupan masih melindungi kesepuluh orang yang terjebak. Meski tak tahu posisi mereka ada dimana, namun wajah-wajah anak-anak Perhimpunan Gunung Puntang Indonesia (PGPI) dan anggota organisasi pecintaalam SMAN 1 Baleendah Arupadhatu, menyiratkan keoptimisan harapan. Ya, karena harapan itu lah mereka berkumpul di Muara pada Minggu malam (14/2) itu.

Gogon, Mektung, Dean Macan, Dang Jon, sesekali berbicang untuk kemudian tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Dideskripsikan, malam itu merupakan malam yang mencekam bagi mereka. Betapa tidak? Dalam kurun waktu 19 tahun perjalanan Arupadhatu, keterjebakan dalam longsor dan banjir itu merupakan kejadian pertama yang terjadi. Meski telah mendeklarasikan diri sebagai pendaki, namun faktor bencana alam menjadi cerita lain yang tak pernah dihadapi. Dan sekarang dialami.

Peralatan minim, pun perbekalan. Setidaknya niat untuk menyelamatkan hanya sampai Muara saja, karena kerja tak kan melepaskan belenggu keharusan. Karenanya, do'a ditambatkan pada takdir dan kemampuan untuk menyelamatkan diri. Karenanya, shubuh telah menanti untuk kembali, tenggelam dalam kesibukan urusan materi.



Leave a Reply.